Etika Bisnis jika dikaitkan dengan Peredaran Majalah Playboy
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.
Media massa sebagai institusi social bertanggungjawab untuk menyampaikan produknya
kepada beragam khalayak umum, yaitu masyarakat. Produk yang dihasilkan berupa pesan-pesan
yang berfungsi untuk menginformasikan berbagai
peristiwa, mendidik, mempengaruhi serta member hiburan masyarakat. Dalam menyampaikan
produk-produk yang telah diciptakan, tentunya media massa juga memiliki syarat-syarat
tertentu agar pesannya dapat diterima oleh masyarakat. Baik diterima secara moralnya
atau punisinya. Pada masa demokrasi saat ini,
pers Indonesia sebagai salah satu pelaku media massa telah memiliki kebebasan untuk
mendapatkan dan menyampaikan berita dengan mudah. Namun dengan adanya kebebasan itu, media massa di Indonesia dianggap sudah melampaui
batas. Kebebasannya sudah tidak beraturan
lagi. Banyak media massa yang tidak lagi memperhatikan tentang etika pers dan etika
media massa.
Seiring dengan
berkembangnya teknologi di Indonesia, menyebabkan masyarakat melupakan media
massa yang dulu sering digunakan untuk mencari sumber berita terbaru setiap
hari. Dimana masyarakat sekarang lebih mengandalkan media internet sebagai media utama dalam mencari
berita dibandingkan media cetak seperti koran, majalah dan tabloid. Apabila
kita mrngingat kembali pada tahun 2006 silam, tepatnya pada tanggal 8 Juni
terdapat kasus beredarnya salah satu majalah di Indonesia yang berbau erotika
dari Amerika Serikat, yaitu majalah Playboy.
Tak asing rasanya mendengar kata “Playboy” dan mungkin banyak yang
langsung membayangkan sebuah majalah dewasa dengan nama yang sama. Ya, majalah
pria dewasa dengan segala kontroversinya di berbagai negara ini memang menarik
untuk diulasterutama di negara kita sendiri–Indonesia.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
awal mula munculnya Majalah Playboy?
2. Mengapa
peredaran Majalah Playboy banyak
mengundang reaksi negatif?
3. Mengapa
setelah penyerangan, majalah tersebut terbit lagi?
4. Mengapa
pemerintah tidak segera melarang atau mencabut izin terbit majalah tersebut?
5. Apakah
redaksi Majalah Playboy hanya
mengedepankan aspek legalitas saja?
1.3
Tujuan
1. Agar
dapat mengetahui asal muasal Majalah Playboy
2. Mengetahui
penyebab reaksi negatif dari masyarakat terhadap peredaran Majalah Playboy
3. Mengetahui
alasan terbitnya kembali Majalah Playboy
4. Mengetahui
alasan pemerintah tidak segera menangani kasus Majalah Playboy
5. Untuk
mengetahui apakah redaksi Majalah Playboy
hanya mengedepankan aspek legalitas saja
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Asal
Mula Munculnya Majalah Playboy
Majalah pria
dewasa ini sendiri sebenarnya sudah beredar sejak tahun 1953. Sejarah awalnya,
Hugh Hefner, pendiri Playboy Magazine ini adalah seorang karyawan di
perusahaan majalah ternama Esquire namun berhenti karena permintaan
kenaikan gajinya ditolak. Tak mau pasrah pada kenyataan, Hefner mencoba
merintis majalah baru dengan mencari modal awal dari menjual perabot rumah,
meminjam dari bank, bahkan sampai mencari investor. Namun, dana terbesar didapatkan
dari ibunya sendiri sebesar 1.000 dolar.Dengan modal kepercayaan ibunya yang
tinggi, serta semua dana yang telah dikumpulkan, Hefner mulai menjalankan
bisnis barunya dengan merilis majalah bernama “Stag Party”.
Namun cobaan langsung datang tanpa diundang. Sebuah perusahaan majalah lainnya
dengan nama Stag tidak terima jika nama itu digunakan untuk
majalah baru Hefner. Bahkan mereka mengancam akan menempuh jalur hukum jika
tetap dilanjutkan.Hefner tidak bisa menentang kemauan dari majalah yang telah
berdiri sejak 1930-an tersebut. Mau tak mau ia harus mencari nama lain untuk
majalahnya. Dari Sir, Gentlemen, Bachelor, bahkan Top Hat
sempat terfikir olehnya, namun tidak ada satupun yang “sreg” sepenuhnya.
Dengan takdir Tuhan, salah satu teman Hefner yang juga menjadi pencari investor
di perusahaan barunya ini, Eldon Sellers, memberi ide nama “Playboy”
yang langsung disetujui.Edisi pertama yang terbit pada Desember 1953 tidak
memiliki keterangan tanggal dan bulan. Hefner masih ragu apakah majalah ini akan
memiliki edisi kedua atau tidak. Sampul depan edisi pertamanya adalah Marilyn
Monroe dengan baju berbelahan dada terbuka hingga pusar. Ini sebenarnya foto
kalender tahun 1949. Hefner sendiri belum pernah bertemu dengan Marilyn Monroe
saat itu.
Tak diduga, edisi
pertama Playboy meledak hingga terjual lebih dari 53.000
eksemplar dalam beberapa minggu. Setiap edisi majalah ini pasti ada seorang playmate
atau model utama dalam majalah edisi saat itu. Playmate
biasanya sama seperti model cover-nya. Edisi pertama ini tidak
memiliki “Playmateof the Month” melainkan “Sweetheart of the
Month” yaitu Marilyn Monroe. Playmate majalah Playboy
pertama adalah Margie Harrison pada edisi Januari 1954.Walau Amerika adalah
negara bebas, namun tetap saja ada batasan. Playboy tidak
diperkenankan untuk anak dibawah umur 18 tahun, apalagi untuk menjadi playmate
di majalah tersebut. Walau sudah tegas hukumnya, tetap saja banyak yang
melanggar dan menjadi playmate. Mereka mengaku sengaja membohongi
pihak Playboy mengenai umur. Contohnya adalah Donna Michelle (17) yang
menjadi Playmate edisi Desember 1963 dan Elizabeth Ann
Roberts (16), Playmate edisi Januari 1958.
Kontroversi yang
ditimbulkan majalah ini pastinya bukan hanya di negara asalnya. Hefner ingin
melebarkan sayap distribusinya ke negara-negara lain di dunia. Namun, karena
frontalnya isi dari majalah ini, banyak negara yang menolak memberikan izin
peredaran majalah Playboy, salah satuya Indonesia. Kontroversi di
Indonesia melibatkan FPI serta Undang-undang pornografi yang terjadi
berbarengan dengan meluncurnya edisi pertama Playboy di
Indonesia.Bukan hanya Indonesia, negara di Asia yang berbudaya timur yang
menolak peredaran majalah ini. India, Cina, Malaysia, Singapura, dan Brunei pun
menolak. Negara Arab yang identik dengan Islam pun berbuat demikian, kecuali
Lebanon dan Turki yang sudah terpengaruh budaya Eropa.Salah satu kontroversi
unik majalah Playboy terjadi di Jepang. Disana, rakyat dan
pemerintahannya tidak menolak beredarnya majalah ini. Namun, peredarannya
terpaksa dihentikan karena kurangnya peminat. Padahal, Jepang merupakan salah
satu negara yang dianggap konten pornografinya paling mirip dengan kenyataan.
Tapi tetap dengan peraturan tidak biperbolehkan adanya foto perempuan dengan
alat kelamin terbuka beredar.Di jepang, Playboy tidak laku. Mungkin
karena rakyatnya tidak terlalu antusias. Pornografi sudah biasa disana. Maka
bagi mereka, hal ini lagi menarik. Playboy di Jepang terbagi atas mingguan dan
bulanan. Pada akhirnya, Playboy edisi bulanan dihentikan produksinya
pada Januari 2009, karena kurangnya minat pembaca.
Kejutan lainnya
dari majalah dewasa rintisan Hefner ini adalah dengan meniadakan gambar
perempuan “tanpa busana” di majalahnya. Alasannya, Playboy ingin
mencari pembaca baru yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin berkurang. Pada
tahun 1975, pembaca Playboy bisa mencapai lima setengah juta orang dan
terus menurun hingga tak sampai satu juta orang.Alasan lainnya, Playboy
menyadari bahwa dunia internet sekarang ini sangat mendominasi kehidupan masyarakat.
Objek pornografi dapat diakses langsung secara cepat, dan murah, dan gratis.
Majalah The Times menambahkan bahwa Playboy juga
ingin berusaha memperbaharui konten menjadi lebih modern dan
“kekinian”.Perempuan “tanpa busana” akan ditiadakan. Playboy akan
memfokuskan diri pada bagian investigasi dan juga wawancara dengan tokoh
terkenal dari berbagai kalangan di setiap terbitan Playboy. Tahun
2014, Playboy telah menurunkan jumlah konten perempuan “tanpa
busana” di situs mereka, hal yang diakui telah menaikkan trafik sampai 250
persen. Ini menandakan bahwa pelaku bisnis, dimanapun, dan siapapun, harus peka
terhadap teknologi dan kebiasaan masyarakat seiring berjalannya waktu.Majalah Playboy
tidak luput dari kontroversi yang membuntutinya. Citra yang dikenang orang
hanyalah yang buruk. Padahal, jika kita liat dari sisi lain, Hugh Hefner,
pendiri Playboy, dikenal sangat sering membantu secara finansial
baik bidang politik ataupun kemanusiaan. Dan seperti yang sudah diceritakan di
awal, perintisan majalah ini tidaklah semulus buah semangka. Banyak
permasalahan pelik dan penderitaan yang dihadapi saat memulainya. Namun, karena
semangat dan juga kerja kerasnya, kini usahanya berbuah hasil yang manis.
Berikut perjalanan
kasus Playboy Indonesia sejak awal terbit hingga saat ini.
Pada tanggal 7 April 2006, saat Playboy terbit perdana, ormas Front Pembela Islam (FPI) langsung mendatangi kantor Playboy di Jalan TB Simatupang Jakarta Selatan berunjuk rasa dengan melakukan orasi, perusakan, dan pembakaran. Pemilik gedung kantor Playboy, AAF (Aceh Asean Fertilizer), protes atas kerusakan yang ditimbulkan FPI dan minta agar Playboy pindah. Akhirnya Playboy hengkang dan pindah ke perkantoran Fatmawati Mas Jakarta Selatan. Sebagai antisipasi untuk menghadapi demonstrasi dan perusakan, di sini kantor Playboy dijaga masyarakat Betawi sekitar.
Pada tanggal 7 April 2006, saat Playboy terbit perdana, ormas Front Pembela Islam (FPI) langsung mendatangi kantor Playboy di Jalan TB Simatupang Jakarta Selatan berunjuk rasa dengan melakukan orasi, perusakan, dan pembakaran. Pemilik gedung kantor Playboy, AAF (Aceh Asean Fertilizer), protes atas kerusakan yang ditimbulkan FPI dan minta agar Playboy pindah. Akhirnya Playboy hengkang dan pindah ke perkantoran Fatmawati Mas Jakarta Selatan. Sebagai antisipasi untuk menghadapi demonstrasi dan perusakan, di sini kantor Playboy dijaga masyarakat Betawi sekitar.
29 Juni 2006,
polisi menetapkan Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin Arnada, dan model
majalah ini, yaitu Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai
tersangka terkait kasus pornografi. Penetapan tersangka tersebut dilakukan
beberapa minggu setelah penerbitan Playboy terkait demonstrasi yang
mengarah kepada perusakan. Polisi memanggil Erwin Arnada. Setelah melalui
pemeriksaan selama 6 jam, Erwin menyatakan penerbitan Playboy edisi kedua
ditangguhkan. Andhara Early dan Kartika Oktavini Gunawan dilaporkan ke polisi
atas dasar pornografi oleh Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi Indonesia.
7 Juni 2006, Playboy
Indonesia kembali terbit setelah tidak terbit untuk edisi Mei 2006 akibat
kontroversi dan ancaman yang merebak. Kantor Playboy Indonesia pindah ke Bali
setelah kantor di Jakarta beberapa kali dirusak oleh FPI dan ormas-ormas lain
yang menolak kehadiranPlayboy di Indonesia. Juli 2006, setelah terbitnya Playboy
edisi ke-2 dan ke-3, Fla Priscilla dan Julie Estelle kemudian juga
ditetapkan sebagai tersangka. Edisi ketiga yang terbit awal Juli 2006
dilaporkan FPI pada 18 Juli 2006 ke kepolisian terkait foto-foto diri Julie
Estelle. Penetapan tersangka itu terkait laporan Masyarakat Anti Pembajakan dan
Pornografi Indonesia (MAPPI) dan FPI. Dalam laporan tersebut, ketiganya
dianggap telah melanggar pasal 282 KUHP tentang Tindak Pidana Susila. Majalah
ini akhirnya tutup setelah menerbitkan edisi ketiga. 5 April 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan memutus bebas terdakwa Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Erwin
Arnada dalam perkara kesusilaan.
6 April 2007, Amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir mengecam keputusan PN Jakarta Selatan yang membebaskan pimpinan redaksi majalah Playboy dari seluruh dakwaan. 12 April 2007, FPI bersama Forum Umat Islam melaporkan vonis bebas yang dijatuhkan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam memutus perkara kesusilaan dengan terdakwa Erwin Arnada ke Komisi Yudisial. 29 Juli 2009, putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung memenangkan FPI dalam kasus Playboy dengan menyatakan terdakwa Erwin Arnada selaku Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Erwin selama dua tahun penjara. 25 Agustus 2010, Ketua FPI Muhammad Rizieq Syihab memerintahkan anggotanya untuk mencari dan menangkap Erwin Arnada, mantan Pemimpin Redaksi Playboy. FPI menuntut Erwin Arnada segera menyerahkan diri menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak FPI. 26 Agustus 2010, Dewan Pers membela majalah Playboy. Putusan MA tersebut dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap pers. Menurut Dewan Pers masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Erwin atas putusan MA tersebut.
6 April 2007, Amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir mengecam keputusan PN Jakarta Selatan yang membebaskan pimpinan redaksi majalah Playboy dari seluruh dakwaan. 12 April 2007, FPI bersama Forum Umat Islam melaporkan vonis bebas yang dijatuhkan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan dalam memutus perkara kesusilaan dengan terdakwa Erwin Arnada ke Komisi Yudisial. 29 Juli 2009, putusan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung memenangkan FPI dalam kasus Playboy dengan menyatakan terdakwa Erwin Arnada selaku Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan. Hakim menjatuhkan pidana terhadap Erwin selama dua tahun penjara. 25 Agustus 2010, Ketua FPI Muhammad Rizieq Syihab memerintahkan anggotanya untuk mencari dan menangkap Erwin Arnada, mantan Pemimpin Redaksi Playboy. FPI menuntut Erwin Arnada segera menyerahkan diri menyusul putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak FPI. 26 Agustus 2010, Dewan Pers membela majalah Playboy. Putusan MA tersebut dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap pers. Menurut Dewan Pers masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Erwin atas putusan MA tersebut.
Ketua Mahkamah
Agung (MA), Harifin Tumpa, mengatakan alasan penahanan terhadap Pemimpin
Redaksi Majalah Playboy, Erwin Ananda, tidak kuat. Karena itu, MA mengabulkan
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
memvonis dua tahun untuk Ernan ”Majelis Hakim MA memutuskan menerima permohonan
PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Erwin, dan menolak dakwaan Jaksa karena
menggunakan KUHAP bukan UU Pers,” kata Harifin di kantor MA, Jakarta, Jumat
(24/6).Selain itu, Harifin juga menjelaskan bahwa Erwin seharusnya tak
perlu menjalani hukuman penjara. Dalam putusan di tingkat kasasi dan PK,
pihaknya tak pernah memerintahkan untuk melakukan penahanan terhadap Erwin.
Sedangkan, di tingkat pertama pengadilan dan banding, Erwin diputus bebas. "Tak
ada itu (untuk memerintahkan ditahan)," ucap Harifin. Pihaknya, menurut
Harifin, juga tak mempunyai data bahwa Erwin sudah menjalani penahanan. "Kita
tak punya data orang itu sudah ditahan," ujarnya. MA dalam putusan
kasasinya No 972 K/Pid/2008 tanggal 29 Juli 2009 memvonis Erwin dengan penjara
selama dua tahun. Bos Playboy itu terbukti telah menyiarkan, mempertontonkan,
atau menempelkan dengan terang-terangan suatu tulisan, gambar, atau benda yang
telah diketahui isinya melanggar kesopanan/kesusilaan. Pada sidang tingkat
pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan serta tahap banding di Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta, Erwin Arnada dinyatakan bebas dari dakwaan jaksa penuntut.
Namun, jaksa kemudian mengajukan kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
2.2
Penyebab
Reaksi Negatif dari Masyarakat terhadap Peredaran Majalah Playboy
Majalah playboy
berasal dari Amerika Serikat yang terkenal dengan gambar-gambar yang tidak
senonoh dan mengandung unsur pornografi.Pada dasarnya, pihak majalah Playboy
di Indonesia sendiri sudah menegaskan bahwa Majalah Playboy yang
beredar di Indonesia tidak sama seperti di negara asalnya, Amerika Serikat. Dan
memang di majalah edisi pertama tidak ada foto wanita “tanpa busana” yang
terpampang. Namun, pemikiran masyarakat adalah menganggap majalah Playboy
diIndonesia sama denagan Majalah Playboy di Amerika Serikat yang mengedepankan
pornografi.
Mereka tidak yakin
bahwa apa yang ada pada edisi pertama akan bertahan sampai edisi-edisi
selanjutnya. Oleh karena itu masyarakat Indonesia banyak yang tidak setuju
dengan diterbitkannya majalah playboy ini. Karena masyarakat takut di dalam
majalah playboy tersebut mengandung unsur pornografi. Munculnya majalah Playboy
pengaruhnya sangat luas bagi masyarakat luas dan berhimbas kepada anak – anak
dibawah umur tujuh belas tahun dan remaja yang akan membawa pengaruh buruk bagi
kehidupannya. Bisa dengan melakukan tindak kejahatan yang akan merugikan
dirinya dan berhimbas pada masa depannya.Banyak ormas yang memporak-porandakan
kantor redaksi ini setelah terbitan pertamanya muncul. Mereka membakar,
merusak, dan juga menyuarakan aspirasinya disana sampai memperkeruh suasana.
Kantor pertama Playboy di TB Simatupang, Jakarta Selatan mau tak
mau dipindahkan atas permintaan pemilik gedung kantor, AAF (Aceh Asean
Fertilizer), yang juga terkena dampak protes.
Di wilayah
lain, dampak tetap terbitnya majalah Playboy juga bisa dirasakan.
Seperti di Jawa Tengah, massa yang mayoritas muslim melakukan penyisiran
jalanan dan menyita semua hal yang berbau porno. Kegiatan yang menimbulkan
keributan antara penjual dan kelompok ormas. Tindakan ini kemudian dilanjutkan
oleh pihak kepolisian dengan cara yang lebih “ramah” untuk menyisir peredaran
media berbau pornografi.
Di Depok,
majalah seperti ini tidak ditemukan, yang banyak ditemukan adalah VCD dan DVD
porno yang langsung disita oleh polisi. Bahkan, bukan hanya di area penjualan,
tapi polisi juga menyapu bersih rumah penjualnya. Lain halnya di Maluku, karena
isu yang beredar membuat penasaran, majalah ini mendapat sambutan hangat. Bukan
hanya para pria dewasa, namun juga ibu rumah tangga dan anak-anak. Disana
menemukan majalah ini karena terbatasnya stok yang dikirimkan dari Jakarta.
“Petisi Ulama dan Tokoh Umat Tentang Pengadilan Playboy.”
Dan juga
majalah playboy sangatlah tidak cocok dengan budaya Indonesia yang mengutamakan
HAM dan kehormatan setiap individu. Petisi yang
ditujukan kepada Sdr. Presiden Republik Indonesia, Sdr. Ketua Mahkamah Agung,
Sdr. Ketua DPR-RI, Sdr. Ketua MPR-RI, Sdr. Efran Basuning SH, dan Ketua
Majelis Hakim Pengadilan yang menyidangkan Kasus Playboy, berisi sebagai
berikut:
1.
Ulama dan tokoh umat Islam menolak
kehadiran Playboy dan majalah serupa di Indonesia dan agar semua yang
berwenang menertibkan kehidupan masyarakat di negeri ini agar segera
menghentikannya.
2.
Persidangan ini harus menghasilkan
keputusan menghentikan penerbitan majalah itu dan menghukum para pelakunya.
3.
Jika persidangan ini membebaskan terdakwa
maka ini akan menjadi preseden buruk, bahwa Indonesia membolehkan penerbitan
majalah porno.
4.
Kepada Majelis Hakim, kami mengingatkan
bahwa Majelis Hakim harus berperan dalam menghentikan pornografi, dan jika
membebaskan, berarti Majelis Hakim telah berperan besar dalam mengembangkan
pornografi di Indonesia.
5.
Perlu diingat ancaman Allah yang
mahadahsyat di akhirat kepada hakim yang memutuskan perkara dengan hawa nafsu
dan jahil. Baginda Rasulullah saw. telah bersabda: Hakim itu ada tiga
kategori. Dua hakim masuk neraka dan satu hakim masuk surga. Orang yang
memutuskan dengan tidak benar, dia pun mengetahui, maka orang (hakim) itu
tempatnya di neraka. Hakim yang tidak mengerti, kemudian mencelakakan hak
orang, maka dia pun tempatnya di neraka. Sedangkan hakim yang memutuskan dengan
benar, tempatnya di surga.(HR at-Tirmidzi).
2.3
Alasan
Terbitnya Kembali Majalah Playboy
Majalah playboy
adalah salah satu majalah internasional yang telah terbit juga di indonesia.
Penerbitan majalah ini di Indonesia menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Sebuah kabar mengejutkan datang dari majalah Playboy saat ini. Playboy edisi Indonesiaterbit
lagi. Majalah yang terkenal akan konten yang berisi foto-foto dewasa tersebut
telah menghentikan penerbitan foto-foto wanita “tanpa busana” pada website-nya.
Seperti sudah diduga dari janji redaktur mereka, Playboy edisi Indonesia konon
tampil “lebih sopan” dibandingkan aslinya, artikelnya pun berkualitas. Pada
dasarnya, pihak majalah Playboy di Indonesia sendiri sudah menegaskan
bahwa Playboy yang beredar di Indonesia tidak sama seperti di negara
asalnya, Amerika Serikat. Dan memang di majalah edisi pertama tidak ada foto
wanita “tanpa busana” yang terpampang. Mereka mengikuti tren
internet yang semakin berkembang saat ini. Playboy menganggap bahwa
langkah ini merupakan sebuah fase istirahat dari format majalah yang sudah
mereka kembangkan selama 62 tahun dan memiliki dampak yang signifikan terhadap
budaya Amerika. Sekarang, Playboy didesain ulang meskipun masih akan
menampilkan gambar wanita yang menggoda. Halaman demi halaman Majalah Playboy sekarang
sudah dilengkapi sensor di satu dua titik atau ditutupi dengan berbagai pose
variatif. Dilansir oleh CNN Money, artikel kartun, humor dan foto-foto
gadis Playboy dikurangi dan diganti artikel yang berbobot. Kertas pun
diganti yang lebih berkualitas, agar citra baru lebih terbangun.
Pendistributoran majalah playboy ini menjadi lebih tertutup dan hanya kalangan
tertentu yang dapat menemui majalah tersebut. Dari hasil penelusuran yang
terbaru pada tahun 2012, lokasi terakhir yang dapat diidentifikasi bahwa
perusahaan majalah playboy berada di Bali. Hingga saat ini masih belum
diketahui tetap berada di daerah tersebut atau sudah berpindah. Pasalnya di
Bali masyarakat di sekitarnya sudah mampu menerima dengan majalah tersebut.
Majalah ini memang
telah menuai pro dan kontra. Beberapa pihak erasa tersinggung dan menganggap
majalah ini merendahkan perempuan. Namun, gagasan tersebut pada kenyataannya
membesarkan nama Playboy sebagai majalah yang tetap laris
selama lebih dari 50 tahun. Sekarang, Playboy didesain ulang meskipun
masih akan menampilkan gambar wanita yang menggoda. Hal ini pasti akan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan kebudayaan yang ada di Amerika.
Munculnya gerakan feminisme mengakibatkan kemunculan beberapa kritik
tajam bahwa wanita sedang dieksploitasi dengan adanya gambar wanita tanpa
busana. Pihak majalah Playboy sendiri berpendapat bahwa hal yang
mereka lakukan masih terhormat, bahkan diinginkan. Playboy dinilai sebagai
tempat bagi perempuan untuk menyalurkan hasrat yang ada dalam diri wanita.
2.4
Alasan
Pemerintah Tidak Segera Menangani Kasus Majalah Playboy
Jika melihat
konteks Indonesia, ada persinggungan antara sistem komunikasi (pers) yang
mempunyai tanggung jawab sosial, sistem komunikasi Pancasila, dan system
komunikasi Islam. Ketiga sistem tersebut saling menuntut adaya upaya untuk
menyeimbangkan antara hak individu dan kepentingan masyarakat. Dalam ilmu
komunikasi sendiri, dikenal berbagai etika untuk menilai berbagai produk
informasi (berita, iklan, foto, dsb). Masing-masing etika punya penawaran yang
berbeda-beda, dari etika yang besifat pribadi yang longgar, etika situasional,
etika utilitarian (untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang), hingga etika
religius yang ketat. yang diwahyukan (Johannesen: 1990).
Cukup sulit di
Indonesia untuk melakukan pembatasan antara hak individu dan kebebasan
mengingat keragaman masyarakat Indonesia dilihat dari sosio-budayanya serta
perubahan yang begitu cepat, tak ketinggalan pengaruh-pengaruh luar yang
notabene mengandung unsur liberal. Untuk mewujudkan apa yang dinamakan sebagai
pers Pancasila atau pers yang bertanggung jawab sangatlah susah. Era reformasi
yang sedang dijalani Indonesia menjadi masa transisi mengundang ketidakpastian.
Perangkat lama yang mengatur kehidupan pers sedang masuk pada tahap
pembongkaran (dekonstruksi), namun perangkat aturan baru belum tersusun,
terlebih disosialisasikan.
Dalam melihat
kasus majalah Play Boy, Erwin Arnada tak salah sepenuhnya memang. Karya
jurnalisme yang dibuatnya berupa majalah Play Boy dianggap sebagai produk dari
kebebasan berekspresi dan kebebsan pers. Dimana sejak dicabutnya SIUPP oleh Gusdur,
kebebasan pers itu seolah meluap sehingga menghasilkan berbagai media baru
dengan genre masing-masing. Lagipula UU-APP (undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi) belum rampung dan berlaku di Indonesia. Erwin Arnada mengungkapkan
tak ada gambar yang tak sesuai kesusilaan dalam majalahnya. Begitu juga
tulisan. Majalah Playboy yang di sini disesuaikan dengan budaya sini. Majalah
Play Boy Indonesia menekankan pada bobot tulisan, bukan gambar-gambar
"begitu". Playboy itu menurutnya hanya branding saja. Kalau ingin
mengusut secara hukum, sepertinya akan banyak media-media lain yang justru
lebih vulgar menampilkan pornografi. Hal ini memang malah memunculkan
ketidakadilan. .Sebaliknya berbagai ormas agama dan pihak-pihak yang melarang
penerbitan majalah Play Boy itu juga tak bisa disalahkan. Mereka hanya khawatir
akan isi majalah Play Boy bisa meracuni moral bangsa ini. Menurut pandangan
mereka dengan adanya gambar-gambar wanita dengan busana minim atau pose-pose
sensual, itu merujuk tidak sesuai dengan kesusilaan.
Oleh karena itu
saat pemerintah sendiri sejak dicabutnya Surat Ijin Penerbitan Pers (SIUPP) UU
No. 11/ 1966 dan mengacu pada UU Pers 40/1999 tentang kebebasan pers, tidak
bisa melarang terbitnya media apapun di Indonesia. Pihak penerbit(majalah playboy)
menyatakan bahwa isi edisi Indonesia akan berbeda dari edisi aslinya. Setelah
terbit, edisi perdana majalah tersebut tidak memuat foto wanita telanjang,
walaupun ada keraguan bahwa hal tersebut akan bertahan pada edisi-edisi
berikutnya.
Tak lupa dengan
Pemimpin Redaksi majalah ini sendiri, Erwin Arnada, yang kemudian dibebaskan
pada 5 April 2007. Penetapan tersangka ini terjadi pada tanggal 29 Juni 2006.
Walau demikian, edisi selanjutnya tetap diterbitkan. Hal ini mengakibatkan
munculnya tersangka-tersangka baru seperti Julie Estelle dan Fla Priscilla.
Walaupun
mereka berdua tidak menjadi model sampul atau playmate, namun foto
mereka terpajang di majalah tersebut. Mereka menjadi tersangka juga berdasarkan
laporan yang diberikan. Lain lagi artis dangdut Inul Daratista. Ia tidak berada
di majalah ini dan tidak dijadikan tersangka. Namun, rumahnya di daerah Pondok
Indah, Jakarta Selatan, menjadi incaran amuk massa karena pernyataannya yang
bersedia jika ditawarkan untuk berada dalam majalah tersebut.
Kasus Erwin
Arnada sebagai Pemimpin Redaksi Playboy masih belum berhenti.
Walau sudah disahkan dan terlepas dari segala tuntutan pada 6 April 2007, FPI
tetap mengusut kasus ini. Sehingga, pada 29 Juli 2009, 2 tahun setelah
ditutupnya majalah Playboy secara keseluruhan, Erwin Arnada dijatuhkan
hukuman 2 tahun penjara atas tindak pidana kesusilaan.
Erwin kemudian
menghilang. Sampai akhirnya pada 25 Agustus 2010, ketua FPI, Muhammad Rizieq
Syihab memerintahkan anggotanya untuk mencari dan menangkap Erwin Arnada. FPI
menuntut Erwin Arnada segera menyerahkan diri menyusul putusan Mahkamah Agung
yang memenangkan pihak FPI. Dan, sehari setelah pernyataan tersebut
diungkapkan, Dewan Pers membela majalah Playboy dengan mengemukakan
bahwa putusan MA ini termasuk dalam kriminalisasi terhadap pers.
Menurut Dewan
Pers, masih ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Erwin atas putusan MA
tersebut. Lepas dari kasus yang tidak ada hentinya, majalah Playboy
Indonesia ini sendiri sudah tidak diproduksi lagi setelah edisi Juni 2007.
Salah satu faktor utamanya adalah karena citra yang buruk di muka publik. Tidak
ada iklan yang menghampiri majalah ini.
Sebenarnya hal
ini sudah terjadi sejak awal, edisi kedua terbitan majalah ini terkendala
karena tidak ada pengiklan yang berminat. Padahal pada terbitan pertamanya,
masih banyak iklan dalam majalah ini. Halaman-halaman yang seharusnya berisikan
iklan, dikosongkan dan dituliskan, “Halaman ini didedikasikan untuk klien-klien
loyal kami yang menerima ancaman karena memasang iklan di majalah kami” dan
dituliskan jenis iklan yang seharusnya tampil di halaman tersebut. Akibat dari
seretnya iklan di majalah ini adalah pada Juni 2007. Redaksi memilih
menghentikan produksi karena tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan
majalah.
2.5
Apakah
Redaksi Majalah Playboy Hanya Mengedepankan Aspek Legalitas Saja
Redaksi majalah playboy tidak hanya
mengedepankan aspek legalitas tetapi juga aspek artistik(seni) dan juga aspek
informasi. Hal ini terbukti dengan majalah playboy memuat artikel tentang mode,
olahraga, barang yang sifatnya komersil, dan wawancara atau tulisan dari
tokoh-tokoh dunia ternama. Sebut saja tokoh terkenal seperti Bob Dylan,
Margaret Atwood, Tom Clancy, Michael Jordan, Roald Dahl, Arthur C. Clark, Bill
Gates, Mohammad Ali, Fidel Castro, Yasser Arafat, Malcolm X, dan Moammar
Khadafi. Bahkan, penulis dan sastrawan kawakan dari Indonesia, yaitu sastrawan
Pramoedya Ananta Toer (Pram) pernah diwawancarai oleh majalah Playboy Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan para model maupun fotografer mengedepankan aspek seni (art) bukan aksi-aksi vulgar. Pihak redaksi juga telah melakukan seleksi terhadap foto-foto yang akan dimuat, namun pastinya Playboy Indonesia tidak memuat foto model yang telanjang bulat maupun foto orang berhubungan seks. Serta PT Velvet Silver Media selaku pemegang lisensi majalah Playboy telah membuat nota kesepahaman dengan agen hingga sub agen majalah untuk menjaga kemasan majalah tetap dalam keadaan tersegel, tidak dijual disembarang tempat dan tidak dijual pada anak-anak di bawah umur. Ia menambahkan harga majalah pria dewasa yang berkisar mulai Rp39 ribu hingga Rp50 ribu itu cukup mahal bagi pelajar.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Majalah playboy
berasal dari Amerika Serikat yang terkenal dengan gambar-gambar yang tidak
senonoh dan mengandung unsur pornografi. Karena frontalnya isi dari majalah
ini, banyak negara yang menolak memberikan izin peredaran majalah Playboy,
salah satuya Indonesia.
Majalah playboy
terbit di Indonesia ketika pemerintah mencabut Surat Ijin Penerbitan Pers
(SIUPP) UU No. 11/ 1966 dan mengacu pada UU Pers 40/1999 tentang kebebasan
pers, sehingga tidak bisa melarang
terbitnya media apapun di Indonesia. Namun masyarakat banyak yang bereaksi
negatif terhadap majalah playboy, karena isi dari majalah tersebut sangatlah
tidak mendidik dan dapat merusakgenerasi bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
· Blak-blakan
Erwin Arnada tentang FPI _ kesra _ tempo.co.html
· Forum
Komunitas Tionghoa Indonesia - Yahoo Groups.html
· Majalah
Playboy dan Kontroversinya di Indonesia - D7 News.html
· Pemred
Playboy Serahkan Diri 8 Oktober _ Republika Online.html
· Perbedaan
Penyelesaian kasus MAJALAH PLAYBOY vs TABLOID OBOR RAKYAT Oleh KEPOLISIAN _
KASKUS.html
· Playboy
Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia.html
· MA_
Pemred Playboy tak Perlu Ditahan _ Republika Online.html
·
Kejari Jaksel
·
FUILaporan
Hakim Kasus Playboy ke Komisi Yudisial – Hizbut Tahrir Indonesia.html
0 komentar :
Posting Komentar